“Menaikkan harga tempe sangat tak mungkin, karena kondisi ekonomi masyarakat masih terimbas pandemi Covid-19 dan pasar juga baru bergeliat,” imbuhnya.
Menyikapi hal itu, Rochim mengaku hanya bisa berdoa agar harga kedelai kembali stabil dan terjangkau. Ia tak akan ikut-ikutan berunjuk rasa ataupun mogok kerja sebagai bentuk protes atas kondisi yang ada.
Baca Juga:
Indonesia Harus Bersatu Lawan Radikalisme, BNPT Dorong Pemanfaatan Teknologi
Abdul Rochim dan karyawannya saat memproduksi tempe-tempenya, di Kelurahan Sukomulyo, Lamongan.
Sebagai pengrajin tempe, Rochim menuturkan, pihaknya berencana mengurangi ukuran tempenya dengan rata-rata 1 cm, agar tetap berproduksi.
Ia juga tak akan merekayasa dengan menambah campuran lain yang akan mengurangi kualitas dan citarasa tempe produksinya.
Baca Juga:
Piala Presiden 2025 Dihelat Mandiri, Klub dan Suporter Raih Hadiah Miliaran Rupiah
“Cukup memperkecil ukuran dengan mempertahankan kualitas yang sama. Tapi sejak harga kedelai naik, saya belum mengurangi produksi, meski ada di antara pengrajin lainnya yang sudah mengurangi produksi,” paparnya.
Diketahui, dengan dibantu 6 orang karyawannya, setiap hari Rochim mampu menghabiskan sebanyak 5 kuintal kedelai untuk dijadikan tempe.
Rochim berkata, bahwa bahan baku kedelai impor itu ia dapatkan dari Surabaya.