Kuncar menerangkan, pemakaman terakhir para Freemason itu ada sekitar tahun 1923. Sayangnya, ia mengaku tak mengetahui rekam jejak, perkembangan, hingga keturunannya kini di Surabaya.
Ia menyebutkan, data sejarah yang ada saat ini akurasinya sangat minim. Itulah yang menurutnya menjadi kendala untuk penelusuran jejak Freemason di Surabaya.
Baca Juga:
Instruksi Tegas Presiden Prabowo: Tak Ada PHK di Sritex Meski Dinyatakan Pailit!
Untuk peninggalan lain, Kuncar menyebut bangunan yang kini ditempati Badan Pertanahan Nasional (BPN) di kawasan Tunjungan juga bekas bangunan Freemason.
Sebab, di bangunan itu juga terdapat jangkar dan mistar yang membentuk wujud 2 segitiga, lengkap dengan bentuk saling berjabatan yang diyakini menjadi ikon kelompok elit Freemason.
Kemudian, di bangunan itu juga ada tulisan 1811 yang menandakan tahun kala itu serta prasasti dan tanggal pada bangunan yang dulunya merupakan bekas loji Freemasonry masa VOC di Surabaya.
Baca Juga:
Bongkar Struktur Gemuk, Nasaruddin Umar Tegaskan Kemenag Siap Jadi Lebih Profesional
Salah satu referensi yang menunjukkan adanya aktivitas Freemason di Surabaya adalah buku yang ditulis Theo Stevens berjudul Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda 1764-1962.
Stenvens menulis, pada 1836 silam, Raden Saleh seorang pelukis besar pioner seni modern Tanah Air dilantik menjadi anggota Tarekat Kemasonan di Loji Eendracht Maakt Mach di Den Haag, Belanda.
Peristiwa itu, kata Stevens, menjadikan Raden Saleh sebagai warga asli Hindia Belanda pertama yang menjadi anggota kelompok persaudaraan Kemasonan. Jejak langkah Raden Saleh sebagai pria asli Hindia Belanda di Tarekat Kemasonan diikuti oleh Abdul Rahman, seorang keturunan Sultan Pontianak.