WahanaNews-Surabaya | Di beberapa makam yang berada di Kompleks Makam Belanda Peneleh Surabaya, masih dapat diketahui siapa saja yang ada di dalam pusara itu dari tulisan yang tertera di atas nisan.
Mulai dari profesinya, jabatannya, bahkan misteri mengenai aktivitas mereka dalam organisasi rahasia.
Baca Juga:
PLN Icon Plus Hadirkan ICONNEXT, Pameran Futuristik Terbesar di Indonesia
Makam Peneleh Surabaya adalah satu dari sekian makam tua yang telah ada sejak era kolonial di Jawa Timur.
Di kompleks Makam Peneleh ini, sebagian besar bersemayam jasad warga Kristen dan Katolik Eropa.
Tapi tidak hanya itu saja, sesuai petunjuk simbol di atas nisannya, ada juga para penghuni kubur yang diduga menganut kepercayaan yang diusung kelompok persaudaraan Freemason.
Baca Juga:
PLN Icon Plus Hadirkan ICONNEXT, Pameran Futuristik Terbesar di Indonesia
Pengamat Sejarah Kuncarsono Prasetyo memastikan hal itu.
"Akeh, Mas sing Yahudi karo Freemason. Lek Yahudi lambange bintang 8. Iku lambang Yahudi kuno. Lek Freemason, yo jangkar karo penggaris iku lambange. (Banyak, Mas, yang Yahudi sama Freemason. Kalau Yahudi lambangnya bintang 8, itu lambang Yahudi kuno. Kalau Freemason, ya jangkar dan penggaris itu lambangnya)," katanya sembari menunjuk sejumlah nisan, Selasa (24/5).
Benar saja, terlihat di atas sejumlah nisan itu simbol yang disebutkan pria yang akrab disapa Mas Kuncar itu.
Beberapa simbol jangkar dan penggaris bersilang itu bahkan terlihat jelas.
Sekadar informasi, Freemasonry atau Freemason, adalah organisasi persaudaraan yang asal-usulnya masih jadi perdebatan dan punya beragam versi.
Kelompok itu muncul pada akhir abad ke-16 sampai awal ke-17.
Freemason di Indonesia Diprediksi Muncul Sekitar 1760
Di Indonesia sendiri, Freemason diprediksi muncul sekitar 1760, mengingat masih adanya saksi bisu yakni loji pertama bernama La Choisie di Batavia (Jakarta).
Keberadaan para penganut Freemason pun menyebar sampai di Surabaya.
Seiring berjalannya waktu, aktivitas para penganut Freemason ini meredup dan tokoh-tokohnya pun telah tiada.
Namun, berdasarkan nisan yang ada di Peneleh, Kuncar memperkirakan bahwa makam para penganut Freemason itu jumlahnya mencapai ribuan banyaknya.
Kuncar menerangkan, pemakaman terakhir para Freemason itu ada sekitar tahun 1923. Sayangnya, ia mengaku tak mengetahui rekam jejak, perkembangan, hingga keturunannya kini di Surabaya.
Ia menyebutkan, data sejarah yang ada saat ini akurasinya sangat minim. Itulah yang menurutnya menjadi kendala untuk penelusuran jejak Freemason di Surabaya.
Untuk peninggalan lain, Kuncar menyebut bangunan yang kini ditempati Badan Pertanahan Nasional (BPN) di kawasan Tunjungan juga bekas bangunan Freemason.
Sebab, di bangunan itu juga terdapat jangkar dan mistar yang membentuk wujud 2 segitiga, lengkap dengan bentuk saling berjabatan yang diyakini menjadi ikon kelompok elit Freemason.
Kemudian, di bangunan itu juga ada tulisan 1811 yang menandakan tahun kala itu serta prasasti dan tanggal pada bangunan yang dulunya merupakan bekas loji Freemasonry masa VOC di Surabaya.
Salah satu referensi yang menunjukkan adanya aktivitas Freemason di Surabaya adalah buku yang ditulis Theo Stevens berjudul Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda 1764-1962.
Stenvens menulis, pada 1836 silam, Raden Saleh seorang pelukis besar pioner seni modern Tanah Air dilantik menjadi anggota Tarekat Kemasonan di Loji Eendracht Maakt Mach di Den Haag, Belanda.
Peristiwa itu, kata Stevens, menjadikan Raden Saleh sebagai warga asli Hindia Belanda pertama yang menjadi anggota kelompok persaudaraan Kemasonan. Jejak langkah Raden Saleh sebagai pria asli Hindia Belanda di Tarekat Kemasonan diikuti oleh Abdul Rahman, seorang keturunan Sultan Pontianak.
Abdul Rahman, seperti disebutkan Stevens dalam bukunya, dilantik menjadi seorang mason pada 1844 di sebuah Loji bernama De Vriendschap, yang ada di sebuah kawasan yang kini disebut Surabaya.
Sebaliknya, Harry Poeze, seorang peneliti Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies dalam bukunya Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, justru sangat minim mencatat perjalanan Raden Saleh selama periode 1830 hingga 1839 silam.
"Tidak begitu banyak yang diketahui tentang apa yang terjadi selama Raden Saleh di Negeri Belanda antara 1830 dan 1839," demikian nukilan dari buku Poeze seperti dikutip CNN Indonesia.
Meski demikian, Poeze mengutip penelitian arsip yang dilakukan De Loos-Haaxman, menuliskan bahwa Raden Saleh memang memperoleh kesempatan langka untuk melukis potret sejumlah pejabat militer Kerajaan Belanda yakni Herman Willem Daendels dan Johannes van Den Bosch.
Poeze juga mencatat, Raden Saleh adalah seorang pria Jawa keturunan Arab dengan cepat diterima oleh golongan elite di Eropa. Ia bergaul erat dengan para petinggi kerajaan Belanda dan bahkan sempat menerima anugerah Bintang Eikenkroon. [non]