WahanaNews-Jatim | Wajah para petani bawang Desa Parangina di Bima, Nusa Tenggara Barat terlihat semringah. Sesekali mereka tersenyum membincangkan perubahan hasil tani yang kian membaik dalam beberapa waktu terakhir.
Mohammad Ali, salah satu petani yang tergabung dalam Kelompok Tani So Lolu di desa itu bertutur soal peran listrik yang meningkatkan produktivitas mereka. Ia menjelaskan bahwa sejak para petani menggunakan lampu penerangan dari PT PLN (Persero) untuk lahan pertanian, pengendalian hama semakin lebih baik.
Baca Juga:
PLN-Ditjen Gatrik Sinergi Kendalikan Perubahan Iklim pada Subsektor Pembangkit Listrik
Cahaya lampu yang berbinar saat malam rupanya tidak disukai hama. Sehingga petani bisa menghemat biaya penggunaan pestisida, meningkatkan hasil panen bawang merah, dan akhirnya menambah pendapatan para petani.
“Ketika kita perbandingkan, dengan atau tidak menggunakan lampu, sangat jauh berbeda. Penghematan luar biasa dari sisi biaya," ujar Ali.
Ali menyebut bahwa sebelum adanya program Electrifying Agriculture atau listrik untuk agrikultur di desanya, biaya pengendalian hama terbilang tinggi. Kini dengan adanya modernisasi pertanian dengan listrik PLN ini, Kelompok Tani So Lolu dan Kelompok Tani So Wawo Rasa yang juga ada di desa itu, bisa berkembang lebih baik.
Baca Juga:
Selamat Tinggal Listrik 12 Jam, Kini Seluruh Desa di NTB Punya Listrik PLN 24 Jam
Cerita Ali dibenarkan Raflin yang bergabung di Kelompok Tani So Wawo Rasa. Ia mengungkapkan hampir 80 persen petani bawang di Desa Parangina saat ini telah menggunakan lampu. Hal ini karena manfaat penggunaan listrik PLN untuk penerangan lahan tani telah dirasakan langsung oleh para petani.
Kelompok Tani So Wawo Rasa yang beranggotakan 40 orang petani menurut Raflin, sebelumnya harus banyak mengeluarkan biaya pengendalian hama. Raflin menyebut rerata para petani mengeluarkan uang untuk membeli pestisida hingga Rp 6 juta bahkan lebih. Sementara dengan menggunakan lampu, pengeluarannya jauh berkurang bahkan mencapai 60 persen dibanding sebelumnya.
“Dari pengeluaran Rp 6 juta, maksimal sekarang hanya Rp 2 juta-an saja. Kira-kira kita bisa hitung dengan kasat mata, untuk Kelompok Tani So Wawo rasa, hematnya Rp 4 juta dikali 40 orang petani, totalnya Rp 160 juta per kelompok. Belum lagi kelompok-kelompok lain," tutur Raflin.