Panembahan Surio Kusumo, misalnya, tak menyetorkan upah dari pabrik gula sebesar 13 ribu gulden sehingga dianggap korupsi. Dia juga tak menyetorkan upeti selama dua tahun (1852-1853) sebesar 70 ribu gulden.
Kerjaan Pamekasan pun resmi ditutup pada 1858, berganti dengan sistem kabupaten seperti saat ini.
Baca Juga:
Profil Mohammed bin Salman yang Serukan Dunia Berhenti Ekspor Senjata ke Israel
Giliran Kerajaan Sumenep
Setelah berhasil mereorganisasi Kerajaan Pamekasan, Kerajaan Sumenep menjadi target Belanda berikutnya. Namun, rupanya tak mudah. Panembahan Sumenep yang berkuat saat itu begitu kuat bahkan punya pengaruh hingga ke Jawa lewat talian pernikahan.
Belanda baru memiliki peluang menguasai Kerajaan Sumenep setelah Panembahan sepuh wafat pada 1854 dan digantikan oleh anaknya, Panembahan Noto Kusumo.
Baca Juga:
Soal Penahanan Pangeran Abdullah, Arab Saudi Buka Suara
Dalam disertasi Kuntowijoyo yang kemudian terbit jadi buku dengan judul Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura, Noto Kusumo disebut membiarkan kantor kepatihan diambil-alih Belanda dan para pegawai digaji langsung oleh kolonial serta diberi gelar tumenggung, sebuah gelar yang lebih tinggi dari gelar patih.
Ketika Panembahan Noto Kusumo jatuh sakit pada 1873, Residen Madura kala itu mengusulkan pada Belanda agar mengambil alih sepenuhnya Kerajaan Sumenep.
Usul itu baru didengarkan oleh Belanda setelah Panembahan Noto Kusumo wafat pada 29 Mei 1879.