WahanaNews-Madura | Awal abad XIX, antara 1837 hingga 1886, menjadi masa-masa suram untuk kerajaan-kerajaan di Pulau Madura. Belanda yang baru mengambil alih penguasaan Hindia Timur dari VOC, terus memperlemah peranan raja-raja dalam pemerintahan.
Belanda misalnya menekan para panembahan untuk memperkuat posisi para patih, sehingga punya kewenangan setara perdana menteri. Pengadilan Kriminal juga diambil alih.
Baca Juga:
Profil Mohammed bin Salman yang Serukan Dunia Berhenti Ekspor Senjata ke Israel
Kerajaan Madura yang umumnya berbentuk Agromanajerial, di mana sumber penghidupan utama para bangsawan dan rakyatnya berasal dari tanah pertanian, kian tak berdaya ketika pajak-pajak tanah dikelola Belanda.
Sementara di sisi lain, bersamaan dengan itu, Belanda terus memperkuat sistem birokratisasinya dengan menyatukan Madura dalam satu keresidenan khusus pada 1837, dengan kantor pusatnya di Kabupaten Pamekasan.
Kerajaan Pamekasan Dihapus
Baca Juga:
Soal Penahanan Pangeran Abdullah, Arab Saudi Buka Suara
Korban pertama birokratisasi Belanda adalah Kerajaan Pamekasan. Kondisi Panembahan Pamekasan, Pangeran Adipati Ario Surio Kusumo, yang berada dalam kesulitan ditambah kondisi kesehatannya yang kian lemah, dijadikan momentum oleh kolonial untuk memecatnya dari posisi administratif pada 1853.
Sejak itu roda pemerintahan dijalankan oleh seorang Patih dan Asisten Residen Belanda.
Dalam disertasi Kuntowijoyo untuk meraih gelar doktor di Colombia University Amerika, diceritakan sejak dikukuhkan sebagai raja pada 1842, Panembahan Surio Kusumo kerap membangkang kolonial.