WahanaNews-Surabaya | Rumah merupakan tempat aman, nyaman, sampai tempat berlindung dari segala mara bahaya.
Namun, tak semua orang beruntung dapat memiliki rumah sesuai kehendak dan harapannya.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
Surabaya contohnya, masih banyak warga yang terpaksa menghuni kawasan yang tak seharusnya menjadi permukiman.
Pada Sabtu (21/5/2022) ini, wartawan menyambangi sejumlah lokasi perkampungan yang bersanding langsung atau bahkan hampir tak berjarak antara hunian dengan jalur rel kereta api.
Di kawasan Dupak Magersari, Surabaya, ada sejumlah warga, pedagang makanan dan sayur mayur, hingga anak muda yang bermain di bantaran rel kereta api yang masih aktif.
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
Lalu, penelusuran berlanjut menyusuri kawasan Ngaglik, Sidotopo, Donokerto, hingga Ambengan Batu DKA.
Di sini hampir serupa dengan kawasan Dupak.
Namun, lebih tertata dan rapi. Jarang ditemukan warga sekitar yang simpang siur di sekitar rel maupun viaduk yang ada di dekat perkampungan.
Meski unik, namun hunian mereka yang berada di kawasan bantaran rel kereta api maupun sekitaran viaduk sangat berbahaya. Selain membahayakan keselamatan penghuni, juga mengganggu jalannya kereta api.
Apalagi, sejauh mata memandang, di sekitar viaduk dan median rel kereta api sudah ada sejumlah genting, tembok, jemuran, hingga kendaraan warga sekitar. Bahkan, ada pula yang menjajakan aneka dagangannya.
Meski lokasinya yang unik, namun justru memicu adrenalin ketika kereta api melintas persis di hadapan mata.
Betapa tidak, hunian masyarakat yang dekat dengan rel kereta hanya berjarak sekitar setengah hingga 1,5 meter saja. Bahkan, ketika kereta melintas, tak ayal debu dan polusi mengarah pada hunian warga. Bahkan, pemandangan di dekat lokasi, sebagian titik pembatas digunakan warga untuk menjemur pakaian dan memarkir sepeda motor.
Salah satu pedagang sayur, Musayana (41) mengaku hal ini dilakukan karena tak punya pilihan lain. Sebab, tempat tinggal dan lapak dagangannya berdekatan dengan rel kereta.
Warga Dupak Magersari Gang 1 Surabaya itu mengaku sudah tinggal dan berjualan sejak usia 17 tahun.
"Saya jualan sejak tahun 1980-an, Mas. Jualan sejak jam 02.00 WIB sampai 09.00 WIB," kata Musayana dilansir dari detikJatim.
Wanita asal Bangkalan, Madura itu mengaku sempat khawatir dan takut.
Tapi kini, malah bisa karena biasa, ia pun mulai merasakan nyaman dan sudah tak takut lagi.
Musayana mengaku, ia dan warga sekitar kerap beraktivitas di sekitar rel kereta api.
Mulai dari berdagang, bermain, nongkrong, hingga bepergian atau keluar masuk rumah sekali pun.
Meski begitu, ia menyatakan hal tersebut kian mendebarkan ketika ada masinis yang dianggap kejam.
Menurutnya, ada masinis tertentu yang justru menambah kecepatan laju kereta untuk menakuti para pedagang, pengendara, dan warga sekitar yang berada di sekitaran rel kereta api.
"Wes terbiasa kok, lek pas onok sopir sing jahat malah onok sing dibanterno (Kalau pas ada masinis yang jahat malah dikencengin keretanya), kalau mau mepe (menjemur) dan lain sebagainya ya bebas. Kalau siang begini banyak yang jemur dan biar cepat garing (kering) semua," ujarnya.
Musayana mengakui memang caranya mencari nafkah di lokasi tersebut berbahaya dan salah. Namun, ia mengaku tak memiliki pilihan lain.
"Awalnya ya takut, tapi lama-lama terbiasa. Saya jualan di sini enggak ada sewa, cuma bayar sampah Rp 1.000 sampai Rp 2.000 per hari, kita menyebutnya paman. Kalau akses sebenernya masuknya nggak ribet kok, kan ya ada jalan, tapi cuma buat motor," tuturnya, lalu tersenyum.
Musyana tentu ingin membeli rumah yang layak, nyaman, dan aman. Namun, maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. [non]