WahanaNews-Surabaya | "RASANYA sulit, tapi bukan tidak mungkin”
Kalimat itu masih tebersit di kepala Septian Nugraha. Ketua Karang Taruna RT 3, RW 1, Kelurahan Sememi, Kecamatan Benowo, itu sempat ragu ketika diajak masuk ke tim anggrek. Tugasnya tidak hanya sulit. Tapi, nyaris tidak mungkin.
Baca Juga:
PLN Icon Plus Hadirkan ICONNEXT, Pameran Futuristik Terbesar di Indonesia
Dia bersama 15 anggota timnya dipercaya untuk merawat 500 lebih tanaman anggrek di greenhouse Sememi Jaya Gang III. Yang menjadi tantangan, memaksa anggrek hidup di tempat yang bukan habitatnya. ”Anggrek ini tanaman suhu dingin. Jadi, bukan hanya sulit. Tapi, benar-benar sulit membudidayakan anggrek di sini (Surabaya, Red),” kata Septian.
Pemuda 24 tahun itu bercerita pada pertengahan 2019, Wali Kota Tri Rismaharini menggagas kampung anggrek di Kelurahan Sememi. Eks lokalisasi Moroseneng di Sememi Jaya Gang III ditunjuk sebagai tempat budi dayanya. Bekas Wisma Barbara disulap menjadi laboratorium pembibitan tanaman.
Tepat September pada tahun itu, Septian bergabung. Dia ragu. Sedikit bingung. Pada umumnya, budi daya anggrek dilakukan di tempat dengan suhu 15 derajat Celsius sampai 28 derajat Celsius. Tapi, kondisi wilayah Surabaya yang panas sudah menjadi kodrat alam. Bukan berarti tidak bisa diubah. Minimal, bisa diakali.
Baca Juga:
PLN Icon Plus Hadirkan ICONNEXT, Pameran Futuristik Terbesar di Indonesia
Salah satunya, memasang sprinkler di langit-langit greenhouse. Alat itu bukan semata-mata untuk menyemprotkan air. Fungsi utamanya, membuat kabut buatan. Ditambah lagi, proses pelembapan di bagian bawah pot anggrek.
Karena itu, semua tanaman anggrek harus diletakkan di atas keranjang besi. Tidak menempel tanah. ”Supaya bisa dilembapkan bagian bawahnya. Bukan bagian atasnya yang disiram,” kata Septian.
Upaya lain, penghijauan di sekitar greenhouse. Pohon yang rindang dan besar ditanam. Juga, ada pemasangan paranet. Semacam jaring hitam yang fungsinya meminimalkan pancaran sinar matahari. Apakah efektif? ”Lumayan,” ucap Septian.
Bunga pertama baru mekar setelah delapan bulan dirawat. Itu pun hanya 10 persen dari total populasi tanaman anggrek yang dibudidayakan. Bagi Septian, hasil tersebut sudah cukup maksimal.
Delapan bulan merupakan proses yang cukup panjang. Bukan waktu yang normal sebetulnya. Sebab, proses anggrek dari kuncup sampai mekar hanya sekitar satu bulan. ’’Banyak (anggrek, Red) yang stres. Batangnya kering, bunganya mengerut dan menghitam (cokelat, Red), lalu daunnya rontok,” katanya.
Namun, timnya tetap optimistis. Terutama setelah melihat ada anggrek yang mampu melawan suhu di luar greenhouse yang relatif panas. Minimal, ada harapan anggrek bisa dibudidayakan di tempat panas. ’’Harus telaten karena memang tidak mudah,” terangnya.
Ketua RW 1, Kelurahan Sememi, Mahfud Salis mengaku sempat pesimistis. Namun, melihat semangat tim anggrek, pria 45 tahun itu tidak patah arang. Ditambah lagi, ada anggrek yang berhasil berbunga. Itu membuatnya kian optimistis.
Bapak dua anak itu melihat adanya potensi yang bisa dikembangkan. Dia mem_bayangkan kampung yang dulunya merupakan zona merah itu berubah menjadi tempat wisata alam buatan yang indah dan asri. ’’Kami berharap itu tidak hanya jadi angan-angan. Hanya perlu dukungan dari pemerintah yang serius. Bukan setengah-setengah seperti ini,” jelasnya.
Di bagian belakang greenhouse tersebut ada lahan milik pemerintah kota seluas 1,6 hektare. Sudah ada vertical garden yang dibangun. Ada pula taman bermain anak. ”Orang akan senang datang ke sini. Mereka akan disuguhi bunga anggrek yang indah. Bukan lagi bunga dalam tanda kutip itu. Jadi, Moroseneng tetap menjadi orang moro seneng (datang senang, Red) karena ada wisata alam buatan yang indah,” jelasnya. [afs]