WahanaNews-Madura | Setiap Natal, di Gereja Sumberpakem, Kecamatan Sumberjambe, Jember, selalu bergema kidung berbahasa Madura. Walaupun berada jauh dari wilayah Madura, namun banyak orang Madura yang tinggal di sana.
Dulunya Pemerintah Hindia Belanda mendatangkan pekerja dari Madura untuk menggarap kebun di sana. Apalagi di sana ada banyak lahan perkebunan yang harus digarap seperti kopi, teh, tebu, dan tembakau.
Baca Juga:
PLN Icon Plus Hadirkan ICONNEXT, Pameran Futuristik Terbesar di Indonesia
Seiring dengan munculnya misi Zending di Hindia Belanda, wilayah Sumberjambe juga menjadi wilayah yang ajaran Kristennya menyebar cepat. Walau begitu budaya asli mereka, dalam hal ini bahasa Madura tetap dipertahankan. Berikut selengkapnya, dilansir dari Indonesia.go.id:
Perkabaran Injil pada Orang Madura
Pada akhir 1854, muncul organisasi Het Java Comite di Amsterdam yang membawa misi balas budi orang Belanda kepada orang Jawa sembari menyebar kekristenan dengan fokus komunitas Madura di Hindia Belanda.
Baca Juga:
PLN Icon Plus Hadirkan ICONNEXT, Pameran Futuristik Terbesar di Indonesia
Penyebaran Kristen itu dilakukan oleh Pendeta Dr. J.P Esserdi Madura. Namun misi itu gagal, penyebaran dialihkan menuju Bondowoso dan Sumberpakem.
Penduduk Madura banyak ditemukan di dua wilayah itu. Walaupun tak mudah, tapi akhirnya baptis pertama dapat dilakukan di Sumberpakem pada tahun 1882 dan Bondowoso pada tahun 1896.
Bersamaan dengan datangnya penjajah Jepang, misi Zending berhenti. Pekerjaan dilakukan oleh orang-orang Madura sendiri di wilayah tersebut. Bahasa Madura dipertahankan sebagai bahasa pengantar di GKJ Sumberjambe, namun tidak di Bondowoso.
Alkitab Berbahasa Madura
Meski J.P Esser sudah memulai penerjemahan kitab suci ke Bahasa Madura, namun tugas itu baru benar-benar tuntas pada tahun 1994. Buku bernama "Alketab" itu terbagi ke dalam dua bab yaitu Perjanjian Lama (1.306 halaman) dan Perjanjian Baru (512 halaman).
Selain Alkitab berbahasa Madura, beberapa pendeta di sana berhasil mewarnai budaya Madura dengan ajaran Kristiani antara lain budaya Konjengan (selamatan) bila ada warga yang meninggal dunia.
Dalam budaya Konjengan, biasanya ada budaya melepas ayam dan selamatan selama tujuh hari berturut-turut. Namun untuk warga Kristiani tidak ada lagi upacara pelepasan alam dan selamatan hanya dilakukan selama tiga kali yaitu hari pertama, hari ketiga, dan hari ketujuh.
Pohon Natal Tak harus Cemara
Selain itu, hal yang menarik dari perayaan Natal di Sumberjambe adalah pohon Natal di sana tak harus pohon cemara, namun juga bisa pohon lain seperti pohon kelapa atau pohon pisang yang banyak terdapat di kebun.
Intinya, tanda kemeriahan dan kuatnya iman mereka bisa diwakilkan dengan pohon apapun.
Dilansir dari Indonesia.go.id, masyarakat di sana juga sangat toleran dan tidak ada konflik beragama. Persahabatan antara pendeta dan kiai juga sering terjadi di sana.