WahanaNews-Madura | Pada bulan Juni ini adalah bulan lahirnya Pancasila, karena 1 Juni menjadi pengingat awal dirumuskannya dasar Negara.
Dilihat dari sejarahnya, gagasan mengenai lahirnya Pancasila muncul dalam sidang BPUPKI pada 1945. Sejumlah tokoh dianggap berperan dalam perumusan Pancasila.
Baca Juga:
Pemprov Sulteng Mulai Latihan Paskibraka untuk HUT RI ke-79 Tahun 2024
Mereka adalah Mohammad Yamin, Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Ki Bagus Hadi Kusumo, KH Wahid Hasyim, dan lain sebagainya.
Dari itu Ketua Komisi I DPRD Sumenep, Darul Hasyim Fath mengatakan bahwa bicara Pancasila bukan bicara indoktrinasi.
Sebab kalau bicara Pancasila dari sisi indoktrinasi, itu sama dengan mengamini era despotisme Orde Baru selama 32 tahun.
Baca Juga:
Tokoh Papua Ali Kabiay Mengajak Warga Hindari Provokasi dan Jaga Perdamaian
Menurutnya, bicara Pancasila haruslah bicara sebuah diskursus. Bicara Pancasila haruslah bicara konklusi, harus bicara Pancasila dari sisi melihat residu ideologi-ideologi yang saling bertikai dalam abad peradaban dunia.
"Sebab, kata Bung Karno, Pancasila menjadi perasan dari sosialisme, menjadi perasan dari kapitalisme, menjadi perasan dari kebaikan-kebaikan dan kearifan Nusantara," papar Wakil Ketua Bidang Kaderisasi dan Ideologi DPC PDI Perjuangan Sumenep ini, Minggu (26/6/2022).
Menurutnya, di era generasi saat ini seolah-olah Pancasila tidak bisa mengakomodir perkembangan zaman, seolah-olah Pancasila membosankan, seolah-olah Pancasila menjadi doktrin yang membuat kita semua menjadi resah dengan keadilan yang belum tercipta.
"Itu hanya soal cara kita sebagai generasi memberlakukan dirinya melihat sejarah. Kalau kita sebagai generasi hanya ingin membuat penagih janji negeri ini, bahwa cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, belumlah tunai sebagaimana yang tertuang dalam asas-asas negeri ini. Dan itu menjadi sila di Pancasila," terangnya.
"Itu soal pilihan kita sebagai narasi. Apakah kita akan memilih generasi sebagai penagih janji, atau menjadi bagian dari generasi republik ini yang ikut menunaikan janji republik kepada seluruh cita-cita republik," katanya.
Darul Hasyim Fath ini menegaskan, Pancasila itu bukan value, bukan sebagai nilai yang menggambarkan republik ini mengalami broken promise, yang seolah-olah ada janji yang terabaikan.
Sebab menurutnya, Pancasila itu menjadi cita-cita yang disepahami, yang aktual, dan perlu aktualisasi dari generasi-generasi cerdas yang tidak miskin literasi.
Terpisah, Wakil Ketua Rektor I INSTIKA Guluk-guluk, Dr. Damanhuri, berbicara Pancasila dari persepektif kalangan santri.
Menurutnya, peran ulama dan santri dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sangatlah luar biasa.
Ia menjelaskan, ulama dan santri memiliki sejarah panjang dalam terbentuknya NKRI. Sebut saja seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, dan KH. Wahid Hasyim, yang terlibat langsung dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, lewat resolusi jihadnya.
"Maka tidak salah, Presiden Jokowi menghadiahi 22 Oktober sebagai Hari Santri. Karena pada waktu itu, perjuangan santri dalam merebut kemerdekaan Indonesia, sangatlah luar biasa," paparnya. [jat]